setobuje's avatar

setobuje

Seto Buje
478 Watchers99 Deviations
60.6K
Pageviews
WPAP (Wedha's Pop Art Portrait) is a style of illustration portrait famous figure. Dominated from plane of flat color front, middle and back to create dimension. Formed from strong imaginary lines, create the position and proportion face shape remain the same as the original portrait with creative tracing process that not refer 100% on what is in trace.

Wedha Abdul Rashid or wedha was born in Cirebon, March 10, 1951 — known as a illustrator, initiate this color mosaic style since the 1990's. To get rid of a sense of boredom in doing the realism illustrations which often he do, he began to alter the existing gradation in skin tone and drapery into color plots using pencil, watercolor and poster paint. When the art technology era arrived, Wedha cultivate the process of "gradation destruction" it with a computer. For Wedha "the essence of color" not on the gleam of image as it is written in physics theory (red, yellow, blue), but on its nature: color front and rear, as well as bright color and dark colors. Geometric particles also do not have to displayed stiff, But have flexibility in responding the image area. For him, the geometric particle do not contain elements of curves, because a curve is assumed to occur from a series of short straight lines. Wedha then arrange, selecting, managing and managing these color areas one by one. The process of preparation of colors and complex field running under the knowledge and total comprehension on character and biography of a figure depicted. Here he acted like a mozaikus arrange ceramic plates and glass. Various colors that appear in this geometric fragment of at later stages was calculated in detail to composed like a mosaic then forming figure nor objects. In harmony with the colors is selected, the figure which displayed as objects are popular figures in society, such as Jimi Hendrix, Marilyn Monroe, Paul McCartney, Elvis Presley, Bung Karno. John Lennon, Jakob Oetama, Iwan Fals, Barack Obama, Slank personnel until Agnes Monica.

Maybe not alleged by wedha, penchant for his painting style until after the end of 2010 has been followed by many people. And they come from various professions. From professional graphic designers, students, photographers, businessmen till housewives. The success of this are reflection of the efforts of contemporary artists who are good at utilizing modern information technology to ascend to the top of discourse. Great pop artworks from wedha, plus the presentation of discourse and thought, included a bonus making techniques, he introduced them via online media such as facebook and other. From here then born a collection of fan works Wedha, who originally formed in the deviantART community. Interestingly, in this community Wedha bluntly teaches the technique of making his work, so that could be followed by anyone who wants to join the ranks Wedha's Pop Art Portrait (WPAP).

Wedha believe, that the people of Indonesia will be involved more far in the creation of pop art because it offers the impression that everyone can participate

"I believe, that pop visual art will be involved Indonesian society more in and the people of Indonesia will be involved more far in the creation of pop art because it offers the impression that everyone can participate. So far I see that the perpetrators of art pop art is always the people of Europe and America. Though the Indonesian people also have a great chance to come forward. ", Said Wedha.

source: vektoriyah.blogspot.com/2010/1…

-----------------------
The Tutorial:
www.youtube.com/watch?v=cnHBNq…

Or This:
popboxwpap.blogspot.com/2010/0…

Theory:
desaingrafisindonesia.wordpres…
Join the community to add your comment. Already a deviant? Log In
Wedha's Pop Art Portrait di Era Industri Seni
Oleh Agus Dermawan T.
Kritikus, penulis buku-buku seni rupa.

      Dalam sebuah diskusi di Taman Ismail Marzuki tahun 1981, pelukis dan penari Bagong Kussudiardja mengatakan bahwa seorang seniman bisa dianggap besar apabila karyanya menghasilkan "isme". Yang dimaksud "isme" adalah pemahaman yang diberangkatkan dari keyakinan wacana dan pemikiran. Sebuah "isme" biasanya akan melahirkan pengikut. Dan pengikut akan memunculkan sebuah aliran. Sedangkan sebuah aliran, pada waktunya akan melahirkan sejumlah keyakinan wacana dan pemikiran baru. Keyakinan wacana dan pemikiran baru ini akan menghasilkan sub isme, yang dikemudian hari mungkin akan jadi isme baru.

      Fakta apa yang dikatakan Bagong Kussudiardja itu memang tercatat dalam sejarah. Affandi adalah pelukis besar, yang kemudian melahirkan Affandisme. Bahkan konon sebagian pelukis akan melewati gaya Affandi sebelum mereka menemukan gayanya sendiri. Begitu pula begitu pula Claude Monet dengan impresionismenya, Picasso dengan kubismenya, Salvador Dali dengan surealismenya, Yue Minjun dengan realisme sinisnya, Basoeki Abdullah dengan realisme romantiknya. Ahmad Sadai dengan abstrak dan abstraksinya. Atau Bagong sendiri dengan koreografi Nusantara-Martha (Graham)nya.

      Lalu apabila Wedha dengan "pop art portrait"nya kini melahirkan isme, -sebut saja "Wedhaisme"- , apakah sudah waktunya perupa Wedha disebut seniman besar? Tentu kita tidak harus terburu-buru. Meskipun fakta telah menunjukkan bahwa gaya lukisan Wedha sejak dirilis lewat pameran tunggal pada 2008 silam telah melahirkan pengikut begitu banyak. Namun apabila istilah "besar" belum waktunya disandang, maka sebutan "populer" mungkin lebih tepat untuk dikenakan.

      Keberhasilan Wedha ini cerminan dari upaya perupa kontemporer yang pandai memanfaatkan teknologi informasi modern untuk naik ke langit pembicaraan. Visual karya-karya Wedha yang apik, dengan tentu diimbuh presentasi wacana dan pemikiran, dan dibonusi teknik-teknik pembuatan, diperkenalkan di antaranya lewat FaceBook. Dasi sini kemudian lahir sekumpulan penggemar karya-karya Wedha, yang awalnya dibentuk dalam komunitas deviantart. Yang menarik, dalam komunitas ini Wedha secarta blak-blakan mengajarkan teknik pembuatan karyanya, sehingga bisa diikuti oleh siapa pun yang ingin bergabung dalam barisan Wedha's Pop Art Portrait ( WPAP).

      Mungkin tidak ada dalam dugaan Wedha, kegemaran untuk melukis ala Wedha ini sampai lewat tengah tahun 2010 sudah diikuti banyak orang. Dan mereka muncul dari beragam profesi. Dari pegrafis profesional, mahasiswa, fotografer, pengusaha sampai ibu rumah tangga. Untuk ini kita harus menyebut nama Seto Buje, Najeeb, Toni Agustian, Itock Soekarso, Triyanto, Sungging Priyanto, Eva Riny, Toto Haryanto, Toto M Setiawan,Dwee Imoet, Walet Mulz, Stefanie Dyah dst, yang kadang melahirkan karya sangat menyenangkan dan mencengangkan.
                       
      Realitas ini selain agak mengagetkan, juga menggembirakan sisi idealis Wedha, yang bernama lengkap Wedha Abdul Rasyid, dan lahir di Cirebon 10 Maret 1951.

      "Saya berkeyakinan, dengan pop art seni rupa akan lebih melibat ke dalam masyarakat Indonesia. Dan masyarakat Indonesia akan lebih masuk dalam penciptaan seni rupa, karena pop art menawarkan kesan bahwa semua orang bisa berpartisipasi. Selama ini saya melihat bahwa pelaku seni rupa pop art selalu orang-orang Eropa dan Amerika. Padahal orang Indonesia juga memiliki peluang besar untuk tampil ke depan.", kata Wedha.

      Lukisan-lukisan Wedha yang disebut pop art itu mengusung potongan-potongan warna, yang ia wacanakan sebagai "esensi warna". Berbagai warna yang muncul dalam serpihan geometris ini pada tahap kemudian dihitung dengan rinci untuk dikomposisikan serupa mozaik, sehingga membentuk figur atau benda-benda. Selaras dengan warna-warna "hidup" yang dipilih, figur-figur yang ditampilkan sebagai obyek adalah tokoh-tokoh populer dalam masyarakat, seperti Jimi Hendrix, Marilyn Monroe, Paul McCartney, Elvis Presley, Bung Karno. John Lennon, Jakob Oetama, Iwan Fals, Barack Obama, personil Slank sampai Agnes Monica. Maka Wedha's Pop Art Portrait itu pun jadilah.

      Bagi Wedha "esensi warna" bukan pada citra pancaran sebagaimana tertulis dalam fisika (merah, kuning, biru), tetapi pada sifatnya : warna depan dan warna belakang, serta warna terang dan warna gelap. Dan partikel-partikel geometris itu tidak harus tampil kaku (sehingga sangat matematis bagai lukisan Mondriaan), tetapi memiliki keluwesan dalam merespon bidang. Baginya, partikel geometris tidak mengandung unsur kurva, lantaran sebuah kurva dianggap terjadi dari rangkaian garis-garis pendek yang berbentuk lurus.

     Wedha, yang terkenal sebagai ilustrator, memulai gaya mozaik warna ini sejak tahun 1990-an. Untuk menyingkirkan kebosanannya dalam mengerjakan ilustrasi yang selama itu diacukan kepada realisme, ia mulai mengubah gradasi yang ada dalam skin tone dan drapery menjadi petak-petak warna. Medium yang digunakan adalah pinsil, cat air dan cat poster. Pada awalnya petak-petak warna itu sungkan untuk telak memisahkan diri satu sama lain. Namun pada tahun-tahun berikutnya setiap warna dengan tegas dipisahkan, sehingga mutlak berdiri sendiri, meski dalam komposisinya tetap dalam ikatan yang melengkapi. Ketika era teknologi seni rupa tiba, Wedha mengolah proses "penghancuran gradasi" itu dengan komputer. Lalu ia pun melukis dengan komputer.

      Jajaran foto figur aikon yang yang ditemui di berbagai media ia lebur dengan ganasnya, untuk kemudian dihidupkan lagi dalam kondisi yang lain. Komputer ia program untuk menjadikan figur itu tertumpuk bidang-bidang warna.Wedha lalu meniti, menyeleksi, mengatur, menjinakkan dan menata bidang-bidang warna itu satu persatu. Proses penyusunan warna dan bidang yang rumit tersebut berjalan di bawah pengetahuan dan penghayatannya atas watak dan biografi figur yang digambarkan. Di sini ia bertindak seperti seorang mozaikus menyusun lempeng-lempeng keramik dan kaca. Setelah semua final, lukisan komputer itu dicetak dalam bentuk photo print. Maka Wedha pun masuk dalam proses manual :
melukis gambar yang ada di photo print itu ke dalam kanvas, dengan cat akrilik.

      Karya-karya potret pop art Wedha yang telah diunduh oleh komunitas  dunia maya, akhirnya hadir dalam dunia konkrit,  dalam kancah industri seni. Pada era post modern, kehadiran karya seni dalam kategori apapun (termasuk fine art) dalam lingkup industri adalah hal yang biasa bahkan niscaya.

      Hal ini mengingatkan saya kepada pengalaman sekitar 20 tahun lalu. Pada tahun 1991, di Hotel Hilton Los Angeles saya menyaksikan pameran patung karya Frederic Remington (1861-1909), perupa Amerika yang dikenal dengan obyek-obyek kuda, Indian dan koboi. Dalam pameran itu puluhan patung Remington disuguhkan dalam berbagai ukuran, sehingga bisa untuk ditaruh di taman, di ruang tamu sampai sebagai penindih kertas di meja kantor. Dalam katalogus disebut, bahwa karya-karya besar Remington telah direproduksi secara industrial sejak 1970, dengan label dan kualitas sekelas Remington. Lalu, di mana karya-karya aslinya? Ada di berbagai museum. ***
Join the community to add your comment. Already a deviant? Log In
WARNA dalam WPAP (Wedha's Pop Art Portrait)

Selama ini setiap kita melihat karya seni rupa pop art, selalu saja yang tersaji adalah karya yang penuh warna meriah, sehingga wajar bila kemudian orang beranggapan bahwa seni rupa pop art itu harus warna-warni. Bahkan kemudian imej beragam warna ini dianggap sebagai ciri utama dari seni rupa pop art. Nggak terlalu salah memang, tapi saya kira juga kurang pas betul.

Dalam silsilah seni rupa, seni pop art disebut sebagai keturunan dari seni rupa modern. Orang tua kandungnya adalah dadaisme. Ini menurut Soedarso SP dalam bukunya, Sejarah Perkembangan Seni Rupa Modern. Batasan seni rupa modern sendiri begitu rumit dan banyak. Yang sering mengacaukan adalah adanya kata modern di situ. Banyak yang keliru menganggap bahwa karya seni rupa yang dibuat di jaman modern, otomatis disebut seni rupa modern. Dari banyak dan rumitnya batasan sebagai cap seni rupa modern, akhirnya para ahli sepakat bahwa faktor kreatifitaslah yang mutlak harus ada pada seni rupa modern.

Kreatifitas dalam proses penciptaan karya seni rupa bisa terjabarkan dalam berbagai aspek.Dimulai dari aspek gagasan,bentuk penuangan gagasan,medium dan seterusnya. Tapi yang paling penting adalah keratifitas dalam aspek penuangan pancaran kesan atau impresi ( etnis jawa menyebutnya 'roso').Sebenarnya impresi ini bersifat subyektif. Contohnya, bila seorang pelukis terpesona melihat pemandangan yang menurutnya indah, kemudian dia melukis pemndangan alam itu. Dalam proses melukisnya tentu ada dorongan intuitif untuk menuangkan interpretasinya terhadap keindahan yang dilihat sebelumnya. Dan jadilah sebuah lukisan pemandangan yang secara visual, bagi orang lain, berbeda dengan kadaan sebenarnya. Berbeda karena secara kreatif pelukis itu telah meramu interpretasinya dengan impresi awal dari pemandangan alam sebelumnya. Dan ini yang membuat karyanya disebut sebagai seni rupa modern. Akan lain kejadiannya bila pelukis tadi hanya berperan sebagai kamera foto. Dia hanya merekam dan menjajikannya dengan impresi yang sama persis dengan impresi awalnya.Karya semacam ini tidak bisa disebut sebagai seni rupa modern.

Upaya kreatif pengubahan impresi inilah yang ditekankan dalam proses penciptaan karya WPAP. WPAP mengangkat figur-figur yang sudah sangat dikenal atau populer dan menhadirkannya kembali dengan impresi yang berbeda. Impresi ini sering saya sebut sebagai menu rasa.

Menu rasa yang berbeda ini mencuat kuat karena adanya dua faktor penting dalam WPAP. Dua faktor itu adalah faceting bentuk yang khas dan permainan warna. Dengan kata lain, kekuatan menu rasa baru itu sangat tergantunge pada kekuatan 2 faktor tadi. Bila salah satu faktor itu lemah, tentu menu rasa baru tidak akan optimal hadirnya. Perlemahan ini bisa terjadi dalam pemilihan scheme warna. Walau hasilnya tetap nyaman dipandang, tapi penggunaan warna skin tone akan mendekatkan karya ini pada foto aslinya. Mendekatkan menu rasanya pada menu rasa aslinya. Menu rasa baru tidak tampil dengan kekuatan penuh.

Jelaslah bahwa dalam WPAP hadirnya warna- warni aneh bukanlah tujuan akhir atau goal untuk bisa disebut seni rupa modern, melainkan sebagai sarana demi terciptanya menu rasa baru dari figur yang diangkat. Menu rasa baru sebagai hasil kreatifitas inilah yang diupayakan kehadirannya sebagai syarat seni rupa modern. Itu saja.

Wedha Abdul Rasyid.
(07 Juli 2010)
source: facebook Wedha Abdul Rasyid
Join the community to add your comment. Already a deviant? Log In
Kemungkinan terbesar sekarang, memperbesar kemungkinan pada ruang ketidakmungkinan. Sehingga setiap orang yang kami temui tak menemukan lagi satupun sudut kemungkinan untuk berkata tidak mungkin. (Membaca Gejala Dari Jelaga-Homicide)
Join the community to add your comment. Already a deviant? Log In
Kemungkinan terbesar sekarang, memperbesar kemungkinan pada ruang ketidakmungkinan. Sehingga setiap orang yang kami temui tak menemukan lagi satupun sudut kemungkinan untuk berkata tidak mungkin. (Membaca Jelaga Dari Gejala-Homicide)
Join the community to add your comment. Already a deviant? Log In
Featured

WPAP THE ORIGINAL POP ARTS OF INDONESIA by setobuje, journal

Wedha's Pop Art Portrait di Era Industri Seni by setobuje, journal

WARNA dalam WPAP by setobuje, journal

Membaca Gejala Dari Jelaga by setobuje, journal

Membaca Jelaga Dari Gejala by setobuje, journal